PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KONTRUKTIVISME DALAM MEMINIMALKAN
MISKONSEPSI SISWA UNTUK
MATA PELAJARAN FISIKA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Nama : Alexander Sihite
SEKOLAH SMP SWASTA
SANTU FRANSISKUS AEKTOLANG-PANDAN
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke
hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang dilimpahkan sehingga makalah ini,
dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini dapat dilaksanakan dengan baik
berkat keterlibatan berbagai pihak yang telah dengan tulus ikhlas memberikan
bimbingan, motivasi, materi atau fasilitas pendukung lainnya. Untuk itu,
melalui kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. SMK
MUHAMMADIYAH Sibuluan I selaku fasilitator tempat pelatihan jardiknas..
2.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu
penyelesaian makalah ini. Akhirnya, ucapan terima kasih yang mendalam kepada
ayahanda dan ibunda,
serta
kedua adikku yang tercinta yang tidak pernah berhenti memberi dukungan dan
semangat.
Semoga
Tuhan Yang Maha Esa, memberi karunia atas budi baik dari semua pihak yang
terlibat dalam membaca makalah ini. Karya tulis ini, dengan segala
keterbatasannya dipersembahkan kepada dunia pendidikan, semoga ada manfaatnya
untuk pengembangan sumber daya manusia di negara tercinta ini.
Penulis
Alexander Sihite
Teacher
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dewasa ini pembangunan di Indonesia
antara lain diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sumber
daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa
khususnya pembangunan di bidang pendidikan. Dalam era globalisasi ini, sumber
daya manusia yang berkualitas akan menjadi tumpuan utama agar suatu bangsa
dapat berkompetisi. Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan formal merupakan
salah satu wahana dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas.
Pendidikan IPA (fisika) sebagai bagian dari pendidikan formal seharusnya ikut
memberi kontribusi dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
Fisika sebagai salah satu cabang IPA yang pada dasarnya bertujuan untuk
mempelajari dan menganalisis pemahaman kuantitatif gejala atau proses alam dan
sifat zat serta penerapannya (Wospakrik, 1994 : 1). Pendapat tersebut diperkuat
oleh pernyataan bahwa fisika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
bagian-bagian dari alam dan interaksi yang ada di dalamnya. Ilmu fisika
membantu kita untuk menguak dan memahami tabir misteri alam semesta ini (Surya,
1997: 1). Tujuan utama yang ingin dicapai dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) mata pelajaran fisika : (1) menyukai fisika sebagai ilmu
pengetahuan dasar yang bersifat kualitatif dan kuantitatif sederhana, (2)
kemampuan menerapkan berbagai konsep dan prinsip fisika dalam menjelaskan
berbagai peristiwa alam serta cara kerja produk teknologi dalam menyelesaikan
permasalahan, (3) kemampuan melakukan kerja ilmiah dalam menguji kebenaran, (4)
membentuk sikap ilmiah yaitu sikap terbuka dan kritis terhadap pendapat orang
lain serta tidak mudah mempercayai pernyataan yang tidak didukung dengan hasil
observasi empiris dan (5) menghargai sejarah sains dan penemuannya.
Untuk
mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran tersebut maka pada setiap akhir
program pengajaran dilakukan evaluasi. Indikator keberhasilan dari pencapaian
tujuan pengajaran tersebut adalah kemampuan belajar siswa yang diwujudkan
melalui nilai perolehan. Pada dasarnya hasil nilai perolehan nilai ujian siswa
untuk mata pelajaran fisika sangatlah rendah.
Penyebab universal atas masih rendahnya
mutu pendidikan IPA yang secara umum diterima oleh para pendidik IPA adalah
adanya miskonsepsi dan kondisi pembelajaran yang kurang memperhatikan
prakonsepsi yang dimiliki siswa. Penyebabnya mungkin karena para guru fisika
mengajar berdasarkan asumsi tersembunyi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan
secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan asumsi tersebut mereka
memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepala para siswanya
( Sadia, 1997:1 ). Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tersebut meliputi
pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematika dan pengetahuan sosial. Tidak
semua pengetahuan dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Hal ini dapat
diketahui dari contoh yang dikemukakan oleh Piaget yaitu pengetahuan sosial
seperti nama hari, tanda atom dan lambang matematika dapat dipelajari secara
langsung. Tetapi pengetahuan fisik dan logika matematika tidak dapat ditransfer
secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa tetapi harus dibangun di dalam
pikiran siswa sendiri sebagai usaha keras siswa untuk mengorganisasi
pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan skema atau struktur mental
yang telah ada sebelumnya
( De
Vries and Zan, 1994 : 193-195 ; Bodner, 1986 : 2 ; Dahar, 1988 : 192 ).
Miskonsepsi pada siswa yang muncul
secara terus menerus dapat mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah. Pembelajaran
yang tidak memperhatikan miskonsepsi menyebabkan kesulitan belajar dan akhirnya
akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar mereka. Pandangan tradisional
yang menganggap bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran
guru ke pikiran siswa perlu digeser menuju pandangan konstruktivisme yang
berasumsi bahwa pengetahuan dibangun dalam diri
siswa (
Howe, 1996 : 45 ).
Secara khusus diperlukan perubahan
pola pikir yang digunakan sebagai landasan pendidikan. Pada umumnya kegiatan
belajar mengajar lebih menekankan pada pengajaran dari pada pembelajaran.
Pembelajaran diartikan sebagai perubahan dalam kemampuan, sikap, atau perilaku
siswa yang relatif permanen sebagai akibat dari pengalaman atau pelatihan. Pola
pikir pembelajaran pun perlu diubah dari sekedar memahami menuju pada penerapan
konsep dan prinsip keilmuwan. Dalam pilar-pilar pembelajaran dari UNESCO,
selain terjadi
learning to know (pembelajaran
untuk tahu), juga harus terjadi learning to do (kemampuan untuk berbuat). Pembelajaran terfokus pada siswa,
sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator. Dalam menjalankan
fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran, pada saat munculnya
miskonsepsi, guru menyajikan konflik kognitif sehingga terjadi
ketidakseimbangan (disekualibrasi) pada diri siswa. Konflik kognitif yang
disajikan guru, diharapkan dapat menyadarkan siswa atas kekeliruan konsepsinya
dan pada akhirnya mereka merekonstruksi konsepsinya menuju konsepsi ilmiah.
Dengan demikian pembelajaran IPA akan menimbulkan suasana belajar yang bermakna
(meaningful learning). Belajar bermakna terjadi bila
informasi terkait dengan konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif (Dahar, 1988 : 112). Pengubahan konsepsi yang dilakukan dengan
menyajikan proses pembelajaran dengan Model konstruktivis ini berpijak pada
konstruktivisme Piagetian dan Vygotskian.
Miskonsepsi yang dialami siswa
secara umum bersifat resisten dalam pembelajaran, sedangkan di sisi lain
anak-anak memiliki penalaran formal yang berbeda-beda. Dalam hal ini, siswa
membutuhkan suatu model pembelajaran yang tepat agar pembelajaran menjadi lebih
bermakna. Dengan demikian dalam penulisan makalah ini dipilih judul model
belajar konstruktivis dalam meminimalkan miskonsepsi siswa tentang pelajaran
fisika.
B. Batasan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas yaitu bagaimana penggunaan model
pembelajaran kontruktivisme dalam mengurangi miskonsepsi siswa pada pelajaran
fisika.
C. Maksud Dan Tujuan Penulisan
Dengan penulisan makalah ini juga
mempunyai maksud dan tujuan agar para guru-guru, khususnya guru fisika
merekomendasikan model pembelajaran kontruktivisme dalam proses belajar
mengajar. Dan dimaksudkan juga dengan diterapkan model ini di kelas akan
mengaktifkan siswa-siswa dalam berfikir dan beraktualisasi serta self
assesment.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pembentukan Pengetahuan Pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan
pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan
struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi
kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa
harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi.
Yang
terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran,
si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar
atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan
keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa.
Belajar lebih
diarahkan pada experimental learning
yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di
laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan
dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik
dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal
yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan
pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan
proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4)
pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat
pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan
bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan
tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar
berarti menata lingkungan agar isi
belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan.
Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
B. Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika
Novak (1984 : 20) mendefinisikan
miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang
tidak dapat diterima. Suparno (1998 : 95) memandang miskonsepsi sebagai
pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah,
klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan
hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar. Dari pengertian di atas
miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang tidak sesuai dengan
pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para ilmuwan. Miskonsepsi
didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan konsepsi para
ilmuwan, hanya dapat diterima dalam kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku
untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi. Konsepsi tersebut pada
umumnya dibangun berdasarkan akal sehat (common sense) atau dibangun secara intuitif dalam
upaya memberi makna terhadap dunia pengalaman mereka sehari-hari dan hanya
merupakan eksplanasi pragmatis terhadap dunia realita. Miskonsepsi siswa
mungkin pula diperoleh melalui proses pembelajaran pada jenjang pendidikan
sebelumnya (Sadia, 1996:13).
Penyebab dari resistennya sebuah
miskonsepsi karena setiap orang membangun pengetahuan persis dengan
pengalamannya. Sekali kita telah membangun pengetahuan, maka tidak mudah untuk
memberi tahu bahwa hal tersebut salah dengan jalan hanya memberi tahu untuk
mengubah miskonsepsi itu. Jadi cara untuk mengubah miskonsepsi adalah dengan
jalan mengkonstruksi konsep baru yang lebih cocok untuk menjelaskan pengalaman
kita (Bodner, 1986 : 14). Sejumlah miskonsepsi sangatlah bersifat resistan,
walaupun telah diusahakan untuk menyangkalnya dengan penalaran yang logis
dengan menunjukkan perbedaannya dengan pengamatan-pengamatan sebenarnya, yang
diperoleh dari peragaan dan percobaan yang dirancang khusus untuk maksud itu.
Jumlah siswa yang berpegang terus pada miskonsepsi cenderung menurun dengan
bertambahnya umur mereka dan makin tingginya strata pendidikan mereka.
Keterampilan siswa dalam mengubah-ubah bentuk matematis rumus-rumus yang
menyatakan hukum-hukum fisika dan kelincahan mereka dalam menggunakan rumus untuk
memecahkan soal-soal kuantitatif dapat menyembunyikan miskonsepsi mereka
tentang hukum-hukum itu. Belum tentu mereka dapat menyembunyikan hukum-hukum
itu secara kualitatif, seperti misalnya besaran mana yang merupakan sebab dan
besaran mana yang merupakan akibat pada penerapan hukum Ohm (Wilarjo, 1998 :
55).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa menurut paradigma konstruktivis, dalam pikiran setiap
orang terdapat skemata. Melalui skemata itu ia mampu membangun gambaran mental
tentang gejala-gejala yang dialaminya. Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi
siswa yang tidak cocok dengan konsepsi yang benar, hanya dapat ditemukan dalam
kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat
digeneralisasi. Miskonsepsi akan terbentuk bila gambaran mental seseorang tidak
sesuai dengan konsepsi seorang ilmuwan. Suatu miskonsepsi muncul bila gambaran
tersebut dibayangkan secara intuitif oleh seseorang atas dasar pengalaman sehari-harinya.
Dalam menangani miskonsepsi yang dipunyai siswa, kiranya perlu diketahui lebih
dahulu konsep-konsep alternatif apa saja yang dipunyai siswa dan dari mana mereka
mendapatkannya. Dengan demikian kita dapat memikirkan bagaimana
mengatasinya.
Diperlukan cara-cara mengidentifikasi atau mendeteksi salah pengertian tersebut
yaitu melalui peta konsep, tes essai, interview klinis dan diskusi kelas
(Novak, 1985 : 94 ; Pearsall, 1996:199 ; Sadia, 1997:8 ; Harlen, 1992:176).
a.
Peta Konsep (Concept Maps)
Novak
(1985 : 94) mendefinisikan peta konsep sebagai suatu alat skematis untuk
merepresentasikan suatu rangkaian konsep yang digambarkan dalam suatu kerangka
proposisi. Peta itu mengungkapkan hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep
dan menekankan gagasan-gagasan pokok. Peta konsep disusun hierarkis, konsep
esensial akan berada pada bagian atas peta. Miskonsepsi dapat diidentifikasi
dengan melihat hubungan antara dua konsep apakah benar atau tidak. Biasanya
miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan
yang lengkap antar konsep. Pearsal (1996 : 199) menyatakan bahwa dengan peta
konsep kita dapat melihat refleksi pengetahuan yang dimiliki siswa. Dengan
mencermati kompleksitas peta konsep tersebut kita dapat mendeteksi
konsep-konsep mana yang kurang tepat dan sekaligus perubahan konsepnya. Untuk
lebih melihat latar belakang susunan peta konsep tersebut ada baiknya peta
konsep itu digabung dengan interview klinis. Dalam interview itu siswa diminta
mengungkapkan lebih mendalam gagasan-gagasannya.
b.
Tes Esai Tertulis
Guru
dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa konsep fisika yang
memang mau diajarkan atau yang sudah diajarkan. Dari tes tersebut dapat diketahui
salah pengertian yang dibawa siswa dan salah pengertian dalam bidang apa. Setelah
ditemukan salah pengertiannya, beberapa siswa dapat diwawancarai untuk lebih
mendalami mengapa mereka punya gagasan seperti itu. Dari wawancara itulah akan
kentara dari mana salah pengertian itu dibawa.
c.
Interview klinis
Interview
klinis dilakukan untuk melihat miskonsepsi pada siswa. Guru memilih beberapa
konsep fisika yang diperkirakan sulit dimengerti siswa, atau beberapa konsep
fisika yang essensial dari bahan yang mau diajarkan. Kemudian, siswa diajak
untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep di atas. Dari sini
dapat dimengerti latar belakang munculnya miskonsepsi yang ada dan sekaligus
ditanyakan dari mana mereka memperoleh miskonsepsi tersebut.
d.
Diskusi dalam Kelas
Dalam
kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang
sudah diajarkan atau yang mau diajarkan. Dari diskusi di kelas itu dapat dideteksi
juga apakah gagasan/ide mereka tepat atau tidak (Harlen, 1992:176). Dari diskusi
tersebut, guru atau seorang peneliti dapat mengerti konsep-konsep alternatif yang
dipunyai siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar dan juga sebagai
penjajakan awal.
Miskonsepsi sangatlah resisten dalam
pembelajaran bila tidak diperhatikan dengan seksama oleh guru. Di bawah ini
diberikan beberapa contoh miskonsepsi yang
sering dijumpai pada siswa.
Gerak
Banyak siswa juga punya salah
pengertian tentang percepatan gravitasi. Kebanyakan siswa secara spontan
mengatakan bahwa sebuah benda yang lebih berat akan jatuh lebih cepat daripada
benda yang ringan pada peristiwa gerak jatuh bebas. Beberapa siswa malah masih
menganggap bahwa bola besi dan bola plastik yang dijatuhkan bebas dari
ketinggian yang sama akan sampai di tanah dalam waktu yang berbeda karena bola
besi akan jatuh lebih cepat dari bola plastik. Padahal menurut prinsip fisika,
kedua benda itu akan jatuh dengan percepatan yang sama dan waktu yang ditempuh
sampai ke lantai juga sama (bila tidak ada unsur lain yang mempengaruhi). Cukup
banyak siswa juga berpikir bahwa jika dua benda bergerak dalam waktu dan
percepatan yang sama, mereka akan punya jarak tempuh sama pula. Mereka lupa
bahwa kecepatan awal perlu diperhitungkan karena unsur itu yang membuat
jaraknya berbeda. Menurut beberapa penelitian, salah pengertian terbanyak
terjadi pada gerak parabola. Siswa masih sulit menangkap mengapa kecepatan pada
puncak suatu projektil adalah nol, meski percepatannya tidak nol. Mereka
berpikir bahwa jika kecepatan itu nol, percepatannnya juga harus nol (Suparno,
1998:97).
Gaya, massa, dan berat
Banyak siswa bingung dengan konsep
dari gaya, massa dan berat. Dalam fisika, berat (G) adalah suatu gaya (F) dan
punya unit newton; sedangkan massa (m) punya satuan kilogram, dan ini bukan
gaya. Namun, banyak siswa menuliskan bahwa berat adalah suatu massa dan punya
satuan kilogram. Beberapa siswa menghubungkan gaya dengan suatu aksi dan gerak.
Maka mereka menangkap bahwa jika tidak ada suatu gaya, tidak akan ada suatu
gerakan. Akibatnya, mereka berpikir bahwa bila tidak ada gerak sama sekali,
juga tidak ada
gaya.
Misalnya, jika seorang mendorong suatu kereta dan kereta itu bergerak, siswa
mengatakan ada suatu gaya bekerja pada kereta itu. Namun, bila kereta itu tidak
bergerak, mereka mengatakan bahwa tidak ada gaya pada kereta tersebut, meski
orang itu mendorong kereta dengan energi yang besar. Dalam fisika, meski kereta
tidak bergerak, tetap ada gaya yang bekerja padanya.
Kerja, kekekalan energi dan momentum
Dalam fisika, kerja (W) sama dengan
gaya (F) kali jarak (S) (W = F.S). Jika suatu gaya (F) bekerja pada suatu objek
dan objek itu tidak bergerak dalam suatu jarak tertentu (S), maka tidak ada
kerja (W). Di sini beberapa siswa berpikir bahwa di situ ada kerja (W). Mereka
sulit mengerti mengapa jika seseorang mendorong suatu kereta dengan banyak
energi, ia tidak membuat kerja. Mereka berpikir bahwa jika seseorang membuat
aktivitas dengan suatu energi ia membuat suatu kerja, gagasan ini bertentangan
dengan prinsip fisika yang diterima. Beberapa siswa mengalami kesulitan untuk
memahami konsep kekekalan energi. Mereka mengalami dalam hidup mereka bahwa
jika mereka mengendarai mobil atau sepeda motor cukup lama, bensinnya akan
habis. Jika mereka bekerja giat, mereka akan lelah kehabisan tenaga. “Bagaimana
mungkin dapat dikatakan bahwa energinya tetap/kekal?" demikian mereka
menyangsikan. Beberapa siswa mengatakan bahwa jika dua kereta dengan kecepatan
yang sama tetapi arahnya berlawanan bertumbukan, mereka akan berhenti karena
kecepatan totalnya menjadi nol. Mereka lupa bahwa kekekalan momentum
membutuhkan resultan momentum (Smv) = 0. Maka jika massanya berbeda,
mereka tidak akan berhenti langsung (Suparno, 1998:98).
Dalam Bidang Optika
Banyak siswa punya salah pengertian
mengenai hukum refleksi cahaya kedua. Mereka berpikir bahwa kesamaan antara
sudut datang dan sudut refleksi hanya terjadi pada suatu kaca datar.
Miskonsepsi yang sering dijumpai adalah bahwa kita melihat sebuah benda bila
kita memancarkan sinar cahaya dari mata ke benda itu. Miskonsepsi yang lain
bahwa kita dapat melihat bayangan sekujur tubuh kita dalam cermin yang kecil
asalkan kita berdiri cukup jauh dari cermin itu. Tentu saja semuanya tidak
benar, karena ada ukuran minimum agar badan kita tampak seluruhnya dalam
cermin. Miskonsepsi yang lazim dalam Optika ialah bahwa bila kita menatap
langit yang bertabur bintang dari bumi pada suatu malam, kita akan melihat
bintang-bintang itu berkedip-kedip, sedangkan planet-planet tidak
berkedip-kedip. Alasan yang mendukung miskonsepsi ini adalah karena
bintang-bintang memancarkan cahaya sendiri, sedangkan planet hanya memancarkan
cahaya yang mereka pantulkan dari matahari. Bahwa bintang-bintang menyinarkan
cahaya mereka sendiri sedangkan planet hanya sebagai pemantul memang benar,
tetapi di langit malam planet juga berkedip-kedip. Kedip-kedipan itu disebabkan
oleh berubahnya rapat udara dalam atmosfer bumi. Lapisan atmosfer yang
bergejolak ini menyimpangkan garis pandang kita. Planet merupakan obyek yang
kelihatan lebih besar sebab letaknya lebih dekat. Itulah sebabnya mengapa
kedipan planet kurang nyata dibandingkan dengan bintang, namun planet-planet
itu toh berkedip-kedip juga.
Dari beberapa miskonsepsi yang telah
dikemukakan ada beberapa faktor kemungkinan penyebab miskonsepsi tersebut ,
antara lain : (1) buku pelajaran, buku pelajaran yang memuat rumus atau uraian
materi yang salah dapat memicu miskonsepsi, (2) guru-guru yang mengalami
miskonsepsi dengan sendirinya akan menjadi penyebab utama munculnya miskonsepsi
pada siswa, (3) kesalahan bahasa, dalam banyak kasus kesalahan bahasa ini
muncul akibat budaya masyarakat yang terlanjur salah-kaprah dalam
mendefinisikan sesuatu secara ilmiah, misalnya pengertian berat dan massa, (4)
intuisi yang salah, ini merupakan faktor yang paling dominan mengakibatkan
miskonsepsi di kalangan siswa, misalnya anggapan massa jenis zat padat selalu
lebih besar dari zat cair, (5) metode mengajar yang tidak tepat, metode
mengajar yang tidak tepat akan dapat memicu munculnya miskonsepsi.
D. Tahap-tahap Pembelajaran
Konstruktivisme
Harlen (1992 : 51) mengembangkan model konstruktivis dalam
pembelajaran di kelas. Pengembangan model konstruktivis tersebut mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut.
1. Orientasi dan Elicitasi Ide. Merupakan proses untuk memotivasi siswa dalam mengawali
proses pembelajaran. Melalui elicitasi siswa mengungkapkan idenya dengan berbagai cara.
2. Restrukturisasi ide. Meliputi beberapa tahap yaitu klarifikasi terhadap ide,
merombak ide dengan melakukan konflik terhadap situasi yang berlawanan, dan
mengkonstruksi dan mengevaluasi ide yang baru.
3. Aplikasi. Menerapkan
ide yang telah dipelajari.
4. Review. Mengadakan tinjauan
terhadap perubahan ide tersebut.
Tahapan - tahapan dalam pengembangan model belajar
konstruktivis dengan lebih rinci diimplementasikan oleh Sadia (1996 : 87).
Secara signifikan model yang telah dikembangkan ini mampu meningkatkan prestasi
belajar fisika siswa. Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis tersebut
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang
program, implementasi program dan
evaluasi.
2. Menetapkan Isi
Produk Belajar. Pada tahap ini,
ditetapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus
dikuasai siswa.
3 Identifikasi dan
Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi
pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta
konsep.
4. Identifikasi dan
Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan
awal siswa yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih
lanjut untuk menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi
ilmiah, mana yang salah dan mana yang miskonsepsi.
5. Perencanaan Program
Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan
pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk
modul.
6. Implementasi Program
Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas.
Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali
ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.
7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program
pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang
telah diterapkan.
8. Klarifikasi dan
analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi perubahan miskonsepsi maka
dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat
diubah secara tuntas maupun yang resisten.
9. Revisi strategi
pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis
miskonsepsi yang resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi
strategi pengubahan konsepsi siswa dalam bentuk modul.
Dalam makalah ini yang menjadi tahapan-tahapan terhadap
penerapan model pembelajaran konstruktivis merupakan modifikasi dari dua model
konstruktivis yang telah dikemukakan yaitu model konstruktivis Harlen (1992:51)
dan Sadia (1996:87). Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis ini
nantinya sangat memperhatikan prior knowledge dan miskonsepsi-miskonsepsi
yang terdapat pada diri siswa, yang menempati posisi yang sentral baik dalam
menyusun maupun implementasi program pembelajaran.
Tahapan-tahapan
penerapan model konstruktivis dalam makalah ini mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Identifikasi awal terhadap prior knowledge dan
miskonsepsi.
Identifikasiawal
terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki dalam mencandra lingkungannya
dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi
yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan
tes awal, interview klinis dan peta konsep.
2. Penyusunan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Miskonsepsi.
Program pembelajaran
dijabarkan dalam bentuk Satuan Pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan miskonsepsi
diwujudkan dalam bentuk modul kecil yang terdiri dari uraian materi yang
memuat konsepkonsep esensial yang mengacu pada konsepsi awal siswa yang telah dijaring sebelum
pembelajaran dilaksanakan. Dengan berpedoman pada pra konsepsi ini, siswa
diharapkan merasa lebih mudah dalam mereduksi miskonsepsinya menuju
konsepsi ilmiah.
3. Orientasi dan Elicitasi.
Situasi pembelajaran
yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal
pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas.
Siswa dituntun agar
mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari.
Pengungkapan gagasan tersebut dapat melalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar
dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama.
Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir
dicemoohkan dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan
diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan
terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
4. Refleksi.
Dalam tahap ini,
berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap
orientasi dan elcitasi direfleksikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring
pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesalahan
dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasinya.
5. Restrukturisasi Ide.
a. Tantangan.
Siswa diberikan pertanyaan-pertanyaaan tentang gejalagejala yang kemudian dapat
diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan
hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
b. Konflik Kognitif dan Diskusi Kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka
benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan
percobaan di laboratorium. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami
konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka
didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan
sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan
ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang
pada kapasitasnya sebagai fasilitator dan mediator.
c. Membangun Ulang Kerangka Konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa
konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa
konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
6. Aplikasi. Meyakinkan
siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepi
ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam
berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudian
menguji
penyelesaiaanya secara
empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka
dengan penjelasan secara keilmuwan.
7. Review. Review dilakukan untuk
meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya
mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap
strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangat
resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut
tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan
bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan. Model
belajar konstruktivis yang telah diuraikan, dapat dirangkum dalam paradigma
berikut:
Gambar 2.1 Penerapan Model Belajar
Konstruktivis
( Dimodifikasi dari
Harlen (1992) dan Sadia (1996) )
|
|
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penulisan makalah ini, dapat
dituliskan beberapa kesimpulan yaitu:
- Penerapan model belajar
konstruktivis dalam pembelajaran fisika berimplikasi terhadap Orientasi Pembelajaran. Pembelajaran fisika
dengan model belajar konstruktivis tidak berorientasi pada produk tetapi
berorientasi pada proses. Pembelajaran tidak dirasakan sebagai suatu proses
pembebanan yang semata-mata berorientasi pada kemampuan siswa dalam merefleksikan
apa yang dikerjakan atau diinformasikan guru. Penekanan pembelajaran
terletak pada kemampuan siswa untuk mengemukakan argumentasi dan mengorganisasi
pengalaman.dalam hal ini akan dapat mengungkapkan miskonsepsi siswa dan
memperbaharuinya.
- Penerapan model belajar
konstruktivis dalam pembelajaran fisika menuntut perubahan peran guru
khususnya dalam cara pandang terhadap siswa. Model belajar konstruktivis
sangat memperhatikan jaringan ide-ide yang ada dalam struktur kognitif
siswa. Pengetahuan bukanlah gambaran dari suatu realita.. Transformasi
pengetahuan dalam konstruktivisme adalah pergeseran siswa sebagai penerima
pasif informasi menjadi pengkonstruksi aktif dalam proses pembelajaran.
Siswa dipandang sebagai subyek yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
B. SARAN
- Para guru fisika
disarankan untuk menggunakan model belajar konstruktivis sebagai model
belajar alternatif dalam pembelajaran fisika. Model belajar konstruktivis
telah mampu mengubah miskonsepsi siswa menjadi konsep ilmiah.
- Pembelajaran fisika
sangat sarat dengan konsep-konsep yang membutuhkan penalaran tinggi. Agar
hasil belajar yang dicapai lebih optimum maka para guru fisika sebaiknya
selalu memperhatikan penalaran formal yang telah dimiliki siswa. Sehingga
strategi pengubah miskonsepsi dapat ditentukan dengan tepat. Telah terbukti
bahwa kualitas miskonsepsi yang dimiliki siswa sangat tergantung pada penalaran
formal siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori
Belajar. Jakarta
: Erlangga
Lie, Anita. 2002. Cooperative
Learning. Jakarta
: Grasindo
Novak,
J.D and Bob Gowin. 1985. Learning How to Learn. Cambridge University
Press.